Saturday, November 8, 2014

Apa perbedaan antara Mandub, Sunnah, Mustahab,dan Tathowu'


Assalamu'alaikum eReaders,

Di sore yang berkah ini mari kita belajar lagi mengenal Islam. Pertanyaan nya kali ini adalah apa sih perbedaan antara Mandub, Sunnah, Mustahab, dan Tathowu ‘  ???

Untuk ana sendiri keempat kata diatas masih terlihat asing. Yuk, mari kita baca secara perlahan penjabarannya berikut ini.

Mandub adalah segala sesuatu yg apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan  tidak mendapatkan siksa. Atau  segala sesuatu yg terpuji secara  syar'I jika dikerjakan dan tidak dicela secara syar'I ketika ditinggalkan.

As-Sunnah adalah sesuatu yg dikerjakan oleh Rosulullah secara rutin.

Al-Mustahab adalah yg dikerjakan oleh Rosulullah satu kali atau dua kali, seperti sholat dhuha, melakukan pengobatan dengan bekam. Imam Ahmad berpendapat bahwa melakukan pengobatan dengan bekam adalah sesuatu yang mustahab, maka beliau berusaha  mempraktekannya walau hanya satu kali dalam hidupnya. Namun sebagian ulama  berpendapat bahwa pengobatan dengan bekam bukanlah sesuatu yg mustahab, akan tetapi hanyalah salah satu bentuk pengobatan yg dilakukan oleh orang Arab pada saat itu, sehingga seorang muslim tidak diharuskan mempraktekkannya.

At-Tathowu adalah apa yg dikerjakan oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri, akan tetapi masih dalam kerangka syar'i. Mungkin bisa kita katakan bahwa Tathowu adalah sunnah yang masih mutlak, seperti sholat sunnah mutlak, membaca Al-Qur'an dan berdoa kapan kita mau dan lain sebagainya.  Dalam suatu hadits disebutkan bahwa seorang badui bertanya kepada Rosulullah tentang kewajiban sholat, maka Rosulullah menjawab bahwa yg menjadi kewajiban adalah sholat lima waktu, setelah itu orang badui bertanya,"Adakah kewajiban sholat selain itu? Rosulullah menjawab,"Tidak, kecuali kamu melakukan Sholat Tathowu"

Sebagian ulama mengatakan bahwa Mandub lebih umum dari pada yg lain-lainnya. Mandub sendiri mempunyai beberapa tingkatan:

1.     Sunnah Muakkadah, adalah sesuatu yg dikerjakan oleh Rosulullah secara rutin, seperti, sholat witir, sholat 2 rekaat sebelum fajar, sholat rowatib. Termasuk juga menikah, karena Rosulllah bersabda, "Barang siapa yg cinta dgn "fitroh-ku", maka hendaknya dia melaksanakan sunnah-ku, dan diantara sunnah-ku adalah menikah"(HR. Baihaqi)
2.   Sunnah ghoir muakkadah, seperti sholat Dhuha, sholat empat rekaat sebelum Dhuhur, dan lain sebagainya.
Sebagian ulama lain membedakan antara istilah tersebut sebagai berikut:

a.     Sunnah adalah sesuatu yg dilakukan berjama'ah, seperti sholat Terawih, sholat Ied Fitri dan Ied Adha.
b.    Sedangkan Tathowu adalah sesuatu yg dikerjakan sendiri, seperti sholat Dhuha, sholat Rawatib, sholat Witir, sholat Tahajud dll. sebagian ulama mengingkari orang yang melakukan sholat tahajud dengan berjama’ah (di luar bulan Ramadhan), karena sholat Tahajud ini ditetapkan  untuk dikerjakan sendiri2, jika dikerjakan secara bersama-sama, dengan alasan bagaimanapun juga, berarti telah menyimpang dari tujuan utamanya, dan dikatagorikan sebagai perbuatan bid'ah. Ini seperi halnya orang yg melakukan sholat Dhuha dengan berjama'ah, atau sholat sunnah fajar dengan berjama'ah atau sholat rawatib dengan berjama'ah.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Sunnah adalah sesuatu yg berdasarkan sunnah atau hadits. Sedangkan  Mustahab  adalah sesuatu yg berdasarkan ijtihad . Tetapi pendapat ini tentunya sangat lemah, karena sangat jauh kalau dikatakan bahwa  yang berdasarkan ijtihad adalah sunnah.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pada hakekatnya hal-hal yg disebut di atas (baik itu yang disebut mandub, sunnah, tathowu’ ataupun mustahab) jika dikerjakan akan mendapatkan pahala atau terpuji  dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksa, atau tidak dicela. Namun jika seseorang meninggalkannya secara keseluruhan dari sunnah yang ada, maka dia akan tercela bahkan oleh sebagian ulama menyebutnya orang fasik yg tidak diterima persaksiannya. Sebagai contoh bahwa adzan adalah sunnah, namun jika suatu kampung tidak ada yg mengumandangkannya, maka kampung tersebut boleh diperangi. Begitu juga jika meninggalkan sholat Ied Fitri dan Ied Adha. Seperti halnya juga sholat  berjama'ah yang menurut sebagian ulama adalah sunnah muakkadah, namun jika seseorang meninggalkannya secara terus menerus, maka dia termasuk orang yang tercela, bahkan Rosulullah hendak membakar orang-orang yang sama sekali tidak pernah  sholat jama’ah di masjid. Ini bagian kaidah dasar dalam mempelajari ibadah kita..

wallahu a'lam.

Thursday, November 6, 2014

Pertanyaan Seputar Malaikat

Ada yg bertanya, malaikat itu laki-laki atau perempuan?????",,, ayooo siapa yg bisa jawab? Termasuk iman kepada malaikat loh....
--------
Ada yang menjawab: "Bukan laki2 dan bukan perempuan, soalnya malaikat ga punya hawa nafsu." kata seorang ikhwan.
-------
Berikut penjabarannya :

Ada beberapa nash dalam Al-Qur'an yg berkaitan dalam permasalahan ini, yaitu :

"Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yg mereka sukai (yaitu anak laki-laki)" (Qs. An-Nahl : 57).

"Maka apakah patut Robb memilihkan bagimu anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar2 mengucapkan kata-kata yg besar (dosanya)" (Qs. Al-Israa : 40)

"Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang kafir Mekah): "Apakah untuk Robbmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan (nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dgn kebohongannya benar-benar mengatakan: "Allah beranak". Dan sesungguhnya mereka benar2 orang yg berdusta. Apakah Allah memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?" (Qs. Ash-Shaaffat : 149-153)

"Dan mereka menjadikan malaikat yg mereka itu adalah hamba Allah Yg Maha Pemurah sebagai orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban" (Qs. Az-Zukhruf : 19)

"Sesungguhnya orang yg tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran" (Qs. An-Najm : 27-28)

Sebagian ulama mengambil mafhum mukhalafah dari ayat-ayat di atas dan menyatakan bahwa malaikat adalah Laki-Laki

Sebagian ulama mengambil mafhum mukhalafah dari ayat-ayat di atas dan menyatakan bahwa malaikat adalah laki-laki diantaranya adalah Ibnu Baz ulama arab saudi, ulama tafsir Ath-Thabariy, Al-Qurthubiy rahimakumullah ketika memberikan penjelasan QS. Ar-Ra'd ayat 11 berkata :

قوله تعالى: "له معقبات" أي لله ملائكة يتعاقبون بالليل والنهار؛ فإذا صعدت ملائكة الليل أعقبتها ملائكة النهار. وقال: "معقبات" والملائكة ذكران لأنه جمع معقبة

"Firman-Nya,"Baginya ada mu'aqqibaat (QS. Ar-Ra'd : 13), yaitu Allah mempunyai malaikat yg silih berganti mengawasi (manusia) sepanjang malam dan siang. Apabila malaikat malam naik, akan diganti oleh malaikat siang. Dan Allah berfirman : ‘mu’aqqibaat’. Malaikat adalah laki-laki karena kata mu'aqqibaat merupakan bentuk jama dari kata mu'aqqibah" (Tafsiir Al-Qurthubiy, 9/291).

Karena beralasan bahwa selama Nabi menerima wahyu tidak pernah malaikat menampakkan sebagai perempuan, dan dalam beberapa riwayat kitab asbabun nuzul ayat tafsir tersebut pun tidak pernah ditemukan malaikat menunjukan perempuan, akan tetapi, sebagian ulama lain mengkritik.

Ternyata ketika di telusuri pendalilan dgn ayat di atas Mafhum mukhalafah tidak bisa diterapkan, karena malaikat termasuk makhluk ghaib yg tidak disifati melainkan dengan dalil. Menerapkan mafhum mukhalafah (yaitu pengertian yg berbeda dari ucapan dari ketetapan) adanya pengqiyasan (penggambaran) malaikat dengan manusia (yg terbagi menjadi jenis laki-laki dan perempuan) adalah keliru. Padahal, banyak dalil yg menyebutkan adanya perbedaan antara malaikat dan manusia. 

Oleh karena itu, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak diperbolehkan mensifati malaikat dengan laki-laki atau perempuan, karena tidak ada dalil shahih dan shariih (jelas) menjelaskan permasalahan tersebut.

"Tidak (boleh) mensifati mereka (malaikat) dengan laki-laki dan perempuan...." (‘Aalamul-Malaaikah Al-Abraar, hal. 13)

"Dan mereka (malaikat) adalah makhluk yg dekat kepada Allah dan dimuliakan, tidak disifati dengan laki-laki dan perempuan. Tidak pula menikah dan berketurunan..." (Al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis-Salafish-Shaalih)

Pendapat yg seperti ini lebih kuat, wallaahu a'lam... Karna hal ini tidak terdapat keberlebihan dan tidak mengurangi timbangan syar'i tentang sesuati yg ghoib dalam memberikan pendapat dalam Aqidah islam yg bersifat ghoib ya... Dan ini pendapat yg bijak menurut bashiroh (pandangan) kami.

Melanjutkan apa yg kita bahas kemarin tentang malaikat, ada yg bertanya: Apa maksud makna dua ayat berikut, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" (Qs. Qaaf : 16)

“Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu” (Qs. Al-Waqi’ah : 85).

Apakah ini menunjukkan bahwa Allah memang dekat dan “menyatu” dengan diri kita...? atau ALLAH LEBIH DEKAT DARIPADA URAT LEHER ??
Makna kedekatan dalam dua ayat di atas tidaklah bermakna bahwa Allah menyatu dengan hambanya (Al-Hulul/Wahdatul-Wujud). Ini adalah aqidah yang keliru. Makna kedekatan dalam dua ayat tersebut adalah kedekatan malaikat terhadap manusia. Perinciannya sebagai berikut :

A. Pada ayat pertama (QS. Qaaf : 16), sifat "dekat" dibatasi pengertiannya dengan penunjukkan ayat tersebut. Selengkapnya, ayat di atas berbunyi :"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya; (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan (seseorang) melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Qs. Al-Qaaf: 16-18).

 Firman Allah (idza yatalaqul mutalaqiyaani), "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya" ; adalah dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah dekatnya dua malaikat yang mencatat amal.

B. Pada ayat kedua (QS. Al-Waqi’ah : 85), kata "dekat" di situ berkaitan dengan keadaan seseorang yang sakaratul-maut. Padahal yang hadir dalam sakaratul-maut adalah para malaikat berdasarkan firman Allah, "sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami akan mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidakakan melalikan kewajibannya" (QS. Al-An’am : 61).

Sehingga kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan malaikat maut yang diutus Allah untuk mencabut nyawa seorang hamba. Kalau yg dimaksud malaikat lalu bagaimana yg di maksud dengan bersemanyam? bukankah bersemanyam itu bertempat ?

Jadi sebelum 'Arsy di ciptakan, Allah bersemanyam di mana?
Allah berada di atas langit dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy, sebagaimana firman-Nya :“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di LANGIT kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang” (Qs. Al-Mulk : 16)

"Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5).

menyikapi yg sebelumnya ditanyakan. Semoga Allah memberikan kita taufiq-Nya. sebelumnya kami sedikit memperjelaskan maksud Imam Malik ketika beliau mengatakan al-istiwa itu ma`lum (diketahui) yaitu diketahui oleh orang Arab dan difahami maknanya. Kemudian kalau kita mengistbatkan istiwa Allah di atas arsy-Nya mereka mengatakan jadi Allah itu berbentuk jism (berjasad), atau Allah itu beruang (memiliki ruang), ataupun bertempat? Kita bisa menjawab hal tersebut dengan beberapa jawaban berikut ini:

1. Kita menjawab dalam bentuk global yg bisa digunakan untuk semua sifat2 yang lain: Allah swt yang mengabarkan kepada kita kalau Dia bersemayam diatas 'Arsy-Nya, tinggi diatas semua makhluk-Nya, yang dituntut dari kita mempercayai segala apa yg Allah kabarkan, dan beriman dengan apa yg Ia sampaikan, tanpa mempertanyakan hal-hal lainnya yang tidak pernah disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya, dan ini tentunya lebih selamat untuk diri kita, ajaran islam dan aqidah kita insya Allah, dalam Al-Qur'an dan Sunnah tidak pernah disebutkan Allah itu memiliki jasad, terbatas dll, maka lebih baik kita tidak mempertanyakannya.

2. Kalau berkenan kita bisa menjawab juga soal tadi dengan sedikit lebih terperinci, kita mengatakan: kalau yg dimaksud dengan jism (berjasad) tersebut bahwa Allah memiliki dzat yg berdiri sendiri, dan tidak butuh terhadap makhluk sama sekali, maka kita mengatakan itu yang kita yakini, akan tetapi kami tidak pernah menamakan dengan nama jasad, karena lafadz jasad tdk pernah terdapat dalam kitab dan sunnah, tapi kalau yang di maksud dengan jasad tersebut jasad yang memiliki organ yg satu organ dengan lainnya itu saling membutuhkan, maka kami menafikan (meniadakan) yang demikian itu, dan hal ini tidak mengharuskan kami menafikan sifat maha tinggi untuk Allah, adapun pernyataan yg mengatakan: kalau Allah bersemayam di atas arsy berarti Allah berbentuk seperti jasad, ini hanya disebabkan oleh bentuk pentasybihan (menyerupakan) antara Allah dengan makhluk.

3. kalau kita katakan Allah itu bersemayam maka mengharuskan kita untuk mengatakan Allah berada pada satu arah tertentu, maka kita bisa menjawabnya dnegan mengatakan: lafadz arah untuk Allah itu tidak terdapat dalam kitab dan sunnah, karena yg terdapat dalam wahyu cuma Allah itu tinggi diatas semua makhluk-Nya. Dan itu yang sesuai dengan sifat Allah dan diterima oleh akal yang sehat, tidak ada arah yang paling cocok untuk Allah melainkan diatas semua makhluknya.

4. Jika kita istbatkan sifat bersemayam maka Allah itu terbatas, maka kita mengatakan: tidak ada dalam al-Qur`an dan Sunnah kalau Allah itu terbatas (ada batasannya), maka lebih dijelaskan lagi apa maksud terbatas atau Allah punya batas tersebut ? 

Kalau yang dimaksudkan dengan batas tersebut adalah Allah tidak diliputi oleh makhluknya, terpisah dan tidak bersatu dengan makhluknya, maka kita mengatakan itu betul, dan itu yang kita yakini, tapi kalau mengatakan yg dimaksud dengan batasn tadi adalah Allah tidak terpisah dgn makhluk, Dia tidak didalam alam dan tidak diluarnya, maka pernyataan ini kita nafikan dan kita ingkari, bahkan kita beranggapan perkataan yg seperti ini akan membawa kita menafikan wujud Allah, maka kita nafikan, pernah Abdullah bin Mubarak ditanyakan, bagaimana engkau mengenal tuhanmu ? Beliau menjawab: Dia bersemayam diatas arsyNya, terpisah dari makhluk2Nya, beliau kemudian ditanyakan: terbatas ?, beliau menjawab: terbatas, dengan batasan yang hanya Dialah yang tau, dan tidak ada seorangpun makhlukNya yang bisa meliputi keilmuannya tentang hal tersebut. 

Allahuwalyyuttaufiq.

Wednesday, November 5, 2014

10 Kaidah Penting dalam Dakwah

Dakwah adalah amalan yang mulia dan sesuatu yang mulia harus disampaikan dengan cara yang mulia yakni tidak melanggar syari’at dan ittibaa'us-sunnah (mengikuti sunnah). Berikut ini adalah 10 kaidah penting dakwah yang harus diperhatikan oleh para du’at:

1. Al Qudwah Qabla Ad Da’wah
(Menjadi Teladan Sebelum Berdakwah)

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri…” (QS Al Baqarah: 44)َ

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۝ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan ? Sungguh besar murka di sisi Allah bila kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.” (QS Ash Shaff: 2-3)

Pepatah Arab mengatakan :
“Lisanul Hal Afsahu Min Lisanil Maqal” (Bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan)

2. At Ta’lif Qabla At Ta’rif
(Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan)

Objek dakwah (mad’u) adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar.

3. At Ta’rif Qabla At Taklif
(Mengenalkan Sebelum Memberi Beban/Amanah)

Kesalahan dakwah terbesar dalah membebankan suatu amalan kepada mad’u sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunnah. Sebab dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas bukan doktrin-doktrin yang membabi buta.

4. At Tadarruj fi At Taklif
(Bertahap Dalam Membebankan Suatu Amal)

Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang latar belakang pendidikan maupun kondisi sosial yang melahirkannya. Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya tersebut tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan.

5. At Taysir Laa At Ta’sir
(Memudahkan Bukan Menyulitkan)َ

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS Al Baqarah: 185)

6. Al Ushul Qabla Al Furu’
(Perkara Pokok Sebelum Perkara Cabang)

Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan akan melahirkan kontraproduktif bagi dakwah itu sendiri. Hal ini dikarenakan perkara ushul harus didahulukan daripada furu’ sedangkan furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika berpijak pada ushul yang baik dan benar pula.

7. At Targhib Qabla At Tarhib
(Memberi Harapan Sebelum Ancaman)

Seorang da’i harus senantiasa memberikan semangat kepada mad’unya agar dapat beramal. Saat mad’u melakukan dosa, ia harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja. Dengan cara ini dakwah (In syaa’Allaah) akan menuai hasil yang diharapkan.

8. At Tafhim Laa At Talqin
(Memberi Pemahaman Bukan Mendikte)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS Al Israa’: 36)

9. At Tarbiyah Laa At Ta’riyah
(Mendidik Bukan Menelanjangi)

Menjaga kehormatan adalah termasuk tujuan syari’at Islam. Oleh karena itu, dakwah harus berupaya memberikan didikan yang baik kepada mad’unya.

10. Tilmidzu Imam Laa Tilmidzu Kitab
(Murid Guru Bukan Murid Buku)

Sebuah pepatah mengatakan

“Guru tanpa buku akan melahirkan kejumudan sedangkan buku tanpa guru akan melahirkan kesesatan”

wallaahu a'lam bish-shawwab

Maraji:

Kitab Ad Da’wah: Al Qawaa’id wal Ushul karya Syaikh Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz.

Inilah yang jadi bahan pertimbangan kita, sebuah kaidah dakwah manhaj nubuwah... semoga kita tercerahkan oleh hidayah Allah. Akhukum fillah.

Monday, November 3, 2014

Karakter Manusia Berpikir

Assalamu’alaikum eReaders,

Hari ini ana membaca 1 artikel yang sangat menarik dari Eleanor Roosevelt, istri dari mantan Presiden USA yg mengatakan:

“Small Minds discuss people,
Average Minds discuss events,
Great Minds discuss ideas.”

“PIKIRAN KECIL membicarakan orang,
PIKIRAN SEDANG membicarakan peristiwa,
PIKIRAN BESAR membicarakan gagasan.”

Maka akibatnya:
PIKIRAN KECIL menghasilkan GOSIP,
PIKIRAN SEDANG menghasilkan PENGETAHUAN,
PIKIRAN BESAR menghasilkan SOLUSI.

Pikiran mana yang lebih mendominasi kita.
Begitu juga lah apa yang akan di hasilkannya.

Bila PIKIRAN KECIL yg mendominasi, maka kita akan selalu asyik dgn urusan orang lain, namun tidak menghasilkan apa-apa kecuali perseteruan.

Bila PIKIRAN BESAR yang mendominasi, maka ia akan aktif menemukan terobosan baru.

PIKIRAN KECIL senang menggunakan kata: “SIAPA?”

PIKIRAN SEDANG senang menggunakan kata: “ADA APA?”

PIKIRAN BESAR selalu memanfaatkan kata: “MENGAPA?” dan “BAGAIMANA?”

Dalam melihat 1 peristiwa yg sama, misalnya jatuhnya buah apel dari pohonnya, akan cenderung di tanggapi secara berbeda-beda.

Si PIKIRAN KECIL bertanya,
“SIAPA SIH YG KEMARIN KEJATUHAN BUAH APEL?”

Si PIKIRAN SEDANG bertanya,
“APAKAH SEKARANG BERARTI SUDAH MULAI MUSIM PANEN BUAH APEL?”

Si PIKIRAN BESAR bertanya,
“MENGAPA BUAH APEL ITU JATUH KE BAWAH, BUKANNYA KE ATAS?”

dan PIKIRAN yang terakhir itulah yang konon menginspirasi Sir Isaac Newton menemukan Teori Gravitasi - nya yang terkenal.

Selain itu, ketiga jenis pikiran ini juga mempunyai ‘MAKANAN’ FAVORIT yang berbeda-beda:

Si PIKIRAN KECIL biasanya senang melahap TABLOID,

Si PIKIRAN SEDANG amat berselera dengan KORAN BERITA,

Si PIKIRAN BESAR memilih BUKU & ARTIKEL yang membangkitkan INSPIRASI.

Tak ada satupin prestasi atau karya di dunia ini yang dihasilkan olej PIKIRAN KECIL !!!
  
 Mari tentukan cara berpikir kita mulai hari ini. Karakter manusia yang seperti apakah kita ? 

Think !!!

Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan

Assalamu'alaikum eReader's,

Artikel perdana ini akan di isi oleh tulisan As-Syaikh Al-Mujahid As-Syahid DR. Abdullah Azzam. Seorang ulama yang berjuang di jalan Allah di Bumi Jihad Afghanistan. Mari sama-sama kita ambil & serap ilmunya, praktekkan dan sebarkan kepada kaum muslimin yang belum mengetahui.

  

Oleh Syaikh Abdullah Azzam:

Sebelum berjihad kamu harus membekali diri dengan dua sifat: lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir. Oleh karena jihad membutuhkan kekerasan dan kekuatan, berlaku keras dalam membela Dien dan merasa gagah karena Allah merupakan sifat perwira, dan dalam waktu yang sama bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin.

Keadaan kita sekarang ini justru sebaliknya. Penguasa-penguasa thaghut (yang mengaku muslim) di negeri kita malah berlaku lemah lembut kepada orang-orang kafir dan bersikap keras terhadap orang-orang mukmin. Demikian pula yang diperbuat oleh sesama orang mukmin dan sesama orang Islam. Orang Islam berlaku keras terhadap saudaranya sesama Islam, dan sebaliknya bersikap ramah kepada orang-orang kafir…mengucapkan salam seraya membungkukkan badan, menundukkan kepala atau mengangguk-angguk di hadapannya…Engkau mulia wahai orang Islam! Jangan berlaku demikian kepada orang kafir!

Ustadz Muhammad Abdurrahman Khalifah, pimpinan sebuah Harakah Islamiyah di Yordania –semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Pernah suatu kali beliau berhadapan dengan Raja Abdullah di Masjid Al Husaini, yang menjadi salah satu pemimpin saat jatuhnya wilayah Lydda dan Ramla tahun 1948 ke tangan Yahudi. Waktu kejadian itu beliau masih sangat muda usianya, sekitar 22 atau 23 tahun. Itu merupakan peristiwa besar dalam permulaan hidupnya, akan tetapi beliau sudah belajar tentang arti kemuliaan dari Sang Hakim ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Suatu ketika Imam Masjid memberikan ceramah dan memberikan alasan untuk pembenaran atas penyerahan wilayah Lydda dan Ramla serta jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Mendengar ceramah Imam, beliau tak dapat menahan diri, lantas keluarlah beliau dari barisan jama’ah Shalat dan segera mengambil alih mikrofon; lalu beliau berkata dengan lantang: “Cukup sudah bagimu makan potongan roti dari mereka (penguasa), mestinya tuan mengatakan kepada orang itu –seraya menunjuk kepada Raja Abdullah–: “Bagaimana Tuan bisa menyerahkan wilayah Lydda dan Ramla ke tangan Yahudi?”, (sedangkan) anda adalah pewaris para Nabi…!”.

Maka mulailah beliau berceramah yang kontan membuat gusar Raja Abdullah, yang segera bangkit dari duduknya dan berteriak: “Hai orang-orang! Lelaki ini adalah seorang munafik yang hendak memfitnah antaraku dengan kalian”, lalu keluar dari masjid karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, sedangkan Ustadz Muhammad tetap berceramah. Kemudian datanglah Kepala Polisi Ibukota mendekati Ustadz Muhammad dan menaruh tangan di pundak beliau seraya berkata: “Demi Allah, hei Abu Majid (panggilan Ustadz Muhammad), aku mendapat perintah, jika sampai terjadi sesuatu, maka kami akan memuntahkan peluru di masjid ini”. Ketika Kepala Polisi tersebut menaruh tangannya di pundak Abu Majid, kebetulan seorang penjual daging yang rumahnya berdampingan dengan masjid berada di dekatnya, maka dia berkata dengan nada mengancam kepada Kepala Polisi: “Demi Allah, kalau sampai kamu menyentuhnya, aku benar-benar akan memenggal kepalamu, maka jangan kamu mencela dirimu sendiri”. Dan memang, penjual daging itu benar-benar mengancam Kepala Polisi tersebut.

Abu Majid berkata: “Dengarlah, sekarang bawa saja aku ke istana dan serahkan pada tuanmu, untuk menghindari terjadinya pembantaian di sini”.

Kepala Polisi itu berkata: “Aku berjanji, tak akan ada seorangpun yang akan menyakitimu”.

Abu Majid menimpali: “Demi Allah, jika sampai ada yang menyakitiku, maka dunia akan bergoyang dan tidak akan tinggal diam”.

Lalu Kepala Polisi itu membawa beliau dengan mobil ke istana. Sesampainya di pintu istana beliau berkata; “Turunkan aku di sisi, aku tidak mau masuk menemui raja”. Setelah Kepala Polisi melapor kepada Raja bahwa Abu Majid tidak mau masuk menemuinya, maka Raja keluar ke balkon istana dan melongok ke halaman bawah seraya berkata: “Bahkan sampai di istanapun engkau tidak mau masuk, hei munafik! Allah akan membinasakanku kalau sampai aku tidak membunuhmu!”. Lalu pelayan istana buru-buru membawakan kursi untuk Raja, maka Abu Majid berkata kepada Raja: “Orang-orang munafik itu justru ada di sekelilingmu”.

Saat itu bulan Ramadhan, tanpa disangka-sangka saudaranya –seorang Kepala Wilayah Salath– datang menyerahkan uang 100 Dinar – 1 Dinar nilainya setara dengan satu orang manusia pada saat itu—seraya berkata: “Hei Abu Majid, jangan engkau merasa sedih…!”. Namun Abu Majid menolak pemberian itu dan hanya meminta dibawakan makanan untuk buka puasa untuk dirinya dan 13 orang sipir penjara yang menjaganya. Maka pergilah saudaranya membeli makanan; waktu itu tidak ada warung makan kecuali di dekat Masjid Al Husaini yang letaknya cukup jauh dari istana sedang untuk ke sana tidak ada mobil tumpangan. Sesampainya di sebuah warung makan, dia membeli makanan yang diperlukan dan ketika pemilik warung tahu bahwa makanan itu untuk Ustadz Muhammad maka dia tidak mau dibayar dan orang banyak berebut untuk mengantarkan makanan tersebut kepada Abu Majid.

Singkatnya Ustadz Muhammad diajatuhi hukuman pengasingan ke Shahrawi. Dalam perjalanan ke tempat pengasingan, beliau meminta berhenti di suatu pasar untuk membeli baju tidur dan ketika pemilik toko tahu bahwa yang membeli dagangannya adalah Ustadz Muhammad, diapun tidak mau dibayar.

Dua hari penuh Raja memendam kemarahan, darahnya menggelegak dan hampir-hampir biji matanya keluar lantaran marah. Para pelayan dan orang-orang di sekelilingnya hanya tertunduk diam, seolah-olah di atas kepala mereka bertengger seekor burung. Raja terus berpikir dan merenung, akhirnya dia berkata kepada para pembantunya: “Dia itu seorang pemuda yang sangat menaruh kepedulian terhadap kemaslahatan negerinya, dia telah berbicara menumpahkan perasaan hatinya. Padahal sepatutnya ucapan itu aku dengar dari kalian”. Lalu salah seorang pembantunya berkata: “Demi Allah wahai Yang Mulia Raja, saya mengenal pemuda tersebut, karena saya pernah bekerja bersamanya di jawatan pengadilan; dia orang yang terhormat dan bersih…”. Raja berkata kepadanya: “Pergilah dan temui dia, kalau dia mau meminta maaf, aku akan membebaskannya!”. Maka pergilah utusan Raja menemui Ustadz Muhammad di tempat pembuangannya untuk menyampaikan perintah Raja. Mendengar tawaran Raja, beliau menolak seraya berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meminta maaf!”. Maka beliaupun tetap berada dalam penjara sampai beberapa waktu.

Demikianlah, jihad membutuhkan kegagahan, kekerasan sikap dan sekaligus kelemahlembutan. Bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah-lembut kepada orang mukmin. Ibadah jihad adalah ibadah jama’i, engkau tidak dapat berjihad sendirian, harus bersama sekelompok manusia dan hidup (berinteraksi) bersama mereka; sekelompok manusia yang berbeda-beda kebiasaan, watak, cara makan, cara tidur dan sebagainya…Kamu harus bisa menutup mata, menutup telinga dan menutup mulut terhadap sesuatu yang kamu tidak suka atasnya dan tidak mencari-cari aib dan tidak melihat kepada saudaramu kecuali hal-hal yang baik-baik saja. Jika tidak begitu, maka kamu tidak akan sanggup melanjutkan jihad.

Inilah jihad! Kamu harus dapat menggabungkan keempat sifat itu menjadi satu sehingga kamu menjadi seorang mujahid, yaitu:

1.       Berlaku lemah-lembut kepada orang-orang mukmin
2.       Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
3.       Tidak takut celaan orang yang mencela
4.       Di jalan Allah.

Ini adalah karunia Allah, dan jihad adalah karunia dari Allah (Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya).

Dia memilih sekelompok manusia untuk Dia bebankan kepada mereka tugas membawa risalah-Nya dan untuk menyebarkan Dien-Nya dengan pengorbanan darah mereka, (dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui).


(Sumber: Tarbiyah Jihadiyah)